Penulis: Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid
1. Menghitung hari bulan Sya’ban
Ummat
Islam seyogyanya menghitung bulan Sya’ban sebagai persiapan memasuki
Ramadhan. Karena satu bulan itu terkadang dua puluh sembilan hari dan
terkadang tiga puluh hari, maka berpuasa (itu dimulai) ketika melihat
hilal bulan Ramadhan.
Jika terhalang awan, hendaknya menyempurnakan
bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari. Karena Allah menciptakan
langit-langit, bumi dan menjadikan bulan sabit tempat-tempat, agar
manusia mengetahui jumlah tahun dan hisab. Satu bulan tidak akan lebih
dari tiga puluh hari.
Dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu, ia berkata : Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam bersabda (yang artinya) :
“Puasalah
kalian karena melihat hilal, dan berbukalah karena melihat hilal. Jika
kalian terhalangi awan, sempurnakanlah bulan Sya’ban tiga puluh hari.”
(31)
Dari Abdullah bin Umar Radiyallahu 'anhu, bahwasanya Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam bersabda :
“Janganlah kalian puasa hingga melihat hilal. Jika kalian terhalangi awan, hitunglah bulan Sya’ban.” (32)
Dari Adi bin Hatim Radhiyallahu 'anhu, ia berkata : Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam bersabda :
“Jika datang bulan Ramadhan puasalah tiga puluh hari kecuali kalian melihat hilal sebelum hari ketiga puluh.” (33)
2. Barangsiapa yang berpuasa pada hari syak (34) , Berarti (ia) telah durhaka kepada Abul Qasim Shalallahu 'alaihi wassalam
Oleh
karena itu, seyogyanya seorang muslim tidak mendahului bulan puasa
dengan melakukan puasa satu atau dua hari sebelumnya dengan alasan
hati-hati, kecuali kalau bertepatan dengan puasa sunnah yang biasa ia
lakukan. Dari Abu Hurairah Radiyallahu 'anhu, ia berkata : Rasulullah
Shalallahu 'alaihi wassalam pernah bersabda :
“Jangan kalian
mendahului Ramadhan dengan melakukan puasa satu atau dua hari sebelumnya
kecuali seseorang yang telah rutin berpuasa, maka berpuasalah.” (35)
Ketahuilah
wahai saudaraku, di dalam Islam barangsiapa berpuasa pada hari yang
diragukan, (berarti ia) telah durhaka kepada Abul Qashim Rasulullah
Shalallahu 'alaihi wassalam. Shillah bin Zufar meriwayatkan dari Ammar :
“Barangsiapa yang berpuasa pada hari yang diragukan berarti telah durhaka kepada Abul Qasim Shalallahu 'alaihi wassalam.” (36)
3. Jika seorang muslim telah melihat hilal hendaknya kaum muslimin berpuasa atau berbuka
Melihat hilal teranggap kalau ada dua orang saksi yang adil, berdasarkan sabda Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam :
“Berpuasalah kalian karena melihat hilal, berbukalah kalian karena
melihatnya, berhajilah kalian karena melihat hilal, jika kalian tertutup
awan, maka sempurnakanlah (bilangan bulan Sya’ban menjadi) tiga puluh
hari, jika ada dua saksi berpuasalah kalian dan berbukalah.” (37)
Tidak
diragukan lagi, bahwa diterimanya persaksian dua orang dalam satu
kejadian tidak menunjukkan persaksian seorang diri itu ditolak, oleh
karena itu persaksian seorang saksi dalam melihat hilal tetap teranggap
(sebagai landasan untuk memulai puasa)., dalam satu riwayat yang shahih
dari Ibnu Umar Radiyallahu 'anhu, ia berkata :
“Manusia mencari-cari
hilal, maka aku kabarkan kepada Nabi bahwa aku melihatnya, maka
Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam pun menyuruh manusia berpuasa.”
(38)
(Dikutip dari Sifat Puasa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam terbitan Pustaka Al-Haura, Jojakarta )
(31) HR Bukhari (4/106) dan Muslim (1081).
(32) HR Al Bukhari (4/102) dan Muslim (1080)
(33)
(HR At Thahawi dalam Musykilul Atsar (no 501), Ahmad (4;/377), At
Thabrani dalam al Kabir (17/171). Dalam sanadnya ada Musalid bin Said,
beliau dhaif sebagaimana dikatakan oleh Al Haitsami dalam Majma Az
Zawaid (3/146), akan tetapi hadits ini mempunyai banyak syawahid, lihat
Al Irwaul Ghalil (901) karya syaikhuna Al Albany hafidhohullah).
(34) yaitu hari yang diragukan , apakah telah memasuki bulan Ramadhan atau belum, ed.
(35) HR Muslim (573 – mukhtashar dengan muallaqnya).
(36)
(HR Bukhari (4/119), dimaushulkan oleh Abu Daud (3334), Tirmidzi (686),
Ibnu Majah (3334), An Nasa’I (2199) dari jalan Amr bin Qais al Mala’l
dari Abu Ishaq dari Shilah bin Zufar, dari Ammar. Dalam sanadnya ada Abu
Ishaq, yakni as Sabi’I mudallis dan dia telah ‘an’anah dalam hadits
ini, dia juga tercampur hafalannya, akan tetapi hadits ini mempunyai
banyak jalan dan mempunyai syawahid (pendukung) dibawakan oleh al Hadits
Ibnu Hajar al Atsqalani dalam Ta’liqu Ta’liq (3/141-142) sehingga
beliau menghasankan hadits ini.
(37) (HR An Nasa’I (4/133), Ahmad
(4/321), Ad Daruquthni (2/167) dari jalan Husain bin Al Harits al Jadali
dari Abdurrahman bin Zaid bin Al Khattab dari para shahabat Rasulullah
Shalallahu 'alaihi wassalam dan sanadnya hasan. Lafadz di atas adalah
para riwayat An Nasa’I, Ahmad menambahkan : “Dua orang muslim.”
(38)
(HR Abu Daud (2342), Ad Darimi (2/4), Ibnu Hibban (871), Al Hakim
(1/423), Al Baihaqi (4/212), dari dua jalan, yakni dari jalan Ibnu Wahb
dari Yahhya bin Abdullah bin Salim dari Abu Bakar bin Nafi’ dari
bapaknya dari Ibnu Umar, sanadnya hasan, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu
Hajar dalam At Talkhisul Habir (2/187).
Jumat, 20 Juli 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar